26 Agustus 2025 20:02:42
Oleh : FIRMAN YUSI, SP Anggota Komisi II DPRD Provinsi Kalsel Sejak terbitnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang kemudian "disempurnakan" (diubah) melalui Undang-undang Nomo 6 Tahun 2023, terjadi perubahan paradigma cukup mendasar terutama terkait penyerapan tenaga kerja lokal yang pada masa sebelum terbitnya UU ini diatur proporsinya oleh Pemerintah Daerah. Terlepas dari sukses atau tidaknya pengaturan tersebut, banyak masyarakat kita yang kemudian khawatir ketika porsi khusus pekerja lokal tak lagi boleh diakomodasi dalam regulasi semenjak kedua UU itu terbit. Dan sebagai konsekuensinya, segera setelah UU Ciptaker terbit, sejumlah daerah yang kadung menetapkan porsi tenaga kerja lokal harus melakukan perubahan terhadap perda yang telah dibuat dan menghapus istilah tenaga kerja lokal. Penyerapan tenaga kerja lokal yang masif memiliki dampak positif yang signifikan bagi pembangunan daerah. Secara ekonomi, setiap investasi baru akan mendorong aktivitas perekonomian lokal dan menciptakan lapangan kerja baru, yang secara langsung meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Dampak ini juga menguatkan kapasitas fiskal daerah (PAD), yang dapat dialokasikan kembali untuk pembangunan dan pelayanan publik. Secara sosial, penyerapan tenaga kerja lokal juga berperan penting dalam mencegah ketimpangan alokasi tenaga kerja dan migrasi penduduk. Jika peluang kerja hanya terkonsentrasi di perkotaan, hal ini dapat memicu transmigrasi dan menyebabkan ketidakseimbangan demografi serta stagnasi ekonomi di daerah asal. Dengan memberikan kesempatan kepada penduduk setempat, strategi insentif membantu menjaga keseimbangan dan memastikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan di seluruh wilayah. Apakah perjalanan perjuangan untuk tenaga kerja lokal berakhir sampai disitu? Tentu tegas harus kita jawab "TIDAK". Karena semangat yang sesungguhnya diusung bukanlah semangat kedaerahan yang melupakan nasionalisme. Akan tetapi kita sedang membicarakan "keadilan" bagi masyarakat lokal yang sudah seharusnya memiliki kesempatan lebih besar dalam menikmati kehadiran para penanam modal yang menerima manfaat dari potensi yang tersaji di daerahnya. Problem ini muncul sesungguhnya sebagai akibat dari ketidakmerataan kualitas sumber daya manusia. Dimana substansi sesungguhnya adalah bagaimana seharusnya negara hadir untuk menciptakan pendidikan berkualitas yang merata ada di semua wilayah negeri ini. Namun apa boleh buat, panggang masih jauh dari api. Hingga 80 tahun Indonesia Merdeka, mimpi mewujudkan cita-cita nasional seperti tertuang dalam Pembukaan Undang-undang Dasar tahun 1945 yaitu "mencerdaskan kehidupan bangsa" baru bisa dinikmati oleh sebagian wilayah negeri ini. Sedikit celah hukum yang bisa dimanfaatkan untuk mendorong kemauan penanam modal menyerap tenaga kerja lokal adalah pada pergeseran paradigma pada UU Ciptaker, yaitu perubahan dari pendekatan mandatori kepada pendekatan pemberian insentif. Pendekatan pemberian insentif merupakan langkah penting yang harus dimanfaatkan untuk menyelaraskan kepentingan daerah dengan agenda nasional. Kebijakan berbasis insentif menawarkan pendekatan yang lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan regulasi mandatori. Keunggulan utamanya terletak pada kemampuannya untuk meningkatkan daya saing investasi dan memberikan fleksibilitas pasar kerja. Insentif fiskal, seperti pengurangan pajak atau super deduction tax, telah terbukti menjadi alat yang efektif di berbagai negara untuk mendorong investasi dalam penelitian dan pengembangan (R&D) atau pengembangan SDM. Model ini lebih disukai karena tidak memaksakan perilaku tertentu, melainkan memberikan imbalan bagi perusahaan yang secara sukarela berkontribusi pada tujuan pembangunan daerah. Pendekatan insentif memungkinkan penargetan yang lebih akurat. Daripada memberlakukan aturan seragam untuk semua sektor, pemerintah daerah dapat mengarahkan insentifnya ke industri-industri yang menjadi prioritas, seperti industri padat karya yang secara alami menyerap banyak tenaga kerja lokal, atau industri yang membutuhkan pengembangan keterampilan spesifik. Hal ini meminimalkan distorsi pasar yang sering terjadi pada kebijakan mandatori, seperti yang diamati pada kebijakan Local Content Requirements (LCR) di sektor energi terbarukan di negara lain, yang justru dapat meningkatkan biaya produksi dan mengurangi efisiensi. Namun, pendekatan insentif juga memiliki tantangan. Pertama, terdapat potensi beban fiskal daerah. Pemberian insentif, terutama dalam bentuk pengurangan pajak daerah seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atau Pajak Restoran, dapat mengurangi Pendapatan Asli Daerah (PAD) secara langsung. Oleh karena itu, diperlukan perhitungan cost-benefit yang cermat untuk memastikan bahwa peningkatan aktivitas ekonomi dan penerimaan pajak dari sektor lain dapat mengkompensasi pengurangan tersebut. Kedua, penelitian di negara-negara ASEAN menunjukkan bahwa insentif pajak saja kurang efektif dalam menarik investasi asing langsung (FDI) jika tidak dibarengi dengan perbaikan iklim investasi secara keseluruhan, seperti kemudahan birokrasi, stabilitas politik, dan kualitas tenaga kerja. Strategi yang diusulkan ini terdiri dari kombinasi insentif fiskal dan non-fiskal yang dirancang secara terukur dan berbasis kinerja. Insentif Fiskal: Skema Super Deduction Tax Lokal : Pemerintah daerah dapat mengadopsi model nasional dengan memberikan pengurangan pajak daerah, seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atau retribusi daerah, bagi perusahaan yang menyelenggarakan program pelatihan vokasi atau pemagangan khusus untuk tenaga kerja lokal. Pajak Progresif : Pemberian insentif pajak daerah secara progresif berdasarkan persentase serapan tenaga kerja lokal. Misalnya, perusahaan yang menyerap tenaga kerja lokal di atas ambang batas tertentu akan mendapatkan pengurangan PBB atau pajak restoran yang lebih besar. Insentif Non-Fiskal : Kemudahan Perizinan : Memanfaatkan sistem OSS yang diamanatkan UUCK. Perusahaan yang memiliki komitmen tinggi terhadap serapan tenaga kerja lokal dapat diberikan prioritas dalam pelayanan administratif, termasuk percepatan perizinan. Dukungan Infrastruktur : Pemerintah daerah dapat menyediakan dukungan infrastruktur yang relevan, seperti akses jalan, energi, atau jaringan telekomunikasi, sebagai bagian dari kesepakatan investasi yang mengikat komitmen penyerapan tenaga kerja lokal. Fasilitasi Kemitraan : Memfasilitasi kemitraan antara penanam modal besar dengan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) lokal untuk rantai pasok. Hal ini akan menciptakan efek domino ekonomi yang lebih luas, di mana investasi besar turut menumbuhkan ekonomi kerakyatan. Pemerintah daerah harus menyusun Perda atau Peraturan Kepala Daerah (Perkada) yang memuat kriteria, bentuk, dan tata cara pemberian insentif secara transparan. Peraturan ini harus mencakup mekanisme pengajuan permohonan, evaluasi berkala, dan pengawasan. Pemberian insentif harus dikaitkan dengan target kinerja yang jelas, seperti jumlah pekerja lokal yang diserap, tingkat retensi, dan tingkat upah. Evaluasi kinerja harus dilakukan secara berkala, minimal satu tahun sekali, untuk memastikan insentif tepat sasaran. Untuk menjamin akuntabilitas, Perda harus menyertakan klausul clawback, yaitu pencabutan insentif atau sanksi administratif lainnya jika penanam modal tidak memenuhi target yang telah disepakati. *Tulisan ini dibuat sebagai catatan penting hasil komparasi dan diskusi dengan Dinas Penanaman Modal dan Perijinan Terpadu Satu Pintu Provinsi Jawa Timur terkait proses pembahasan Rancangan Perda tentang Penanaman Modal yang sedang berproses di DPRD Provinsi Kalimantan Selatan.