05 Desember 2025 14:33:38
Oleh : FIRMAN YUSI, SP Anggota Komisi II DPRD Kalsel Kabid Advokasi, Kebijakan Publik, Ketenagakerjaan. Petani, Peternak & Nelayan DPW PKS Kalsel Kehadiran Sentra Produksi Pangan dan Gizi (SPPG) atau Dapur Makan Bergizi Gratis (MBG) dalam program nasional ini bukan sekadar unit pengolah makanan. Ia adalah simpul strategis yang dapat mentransformasi program dari sekadar "makan gratis" menjadi ekosistem ekonomi sirkular berbasis lokal. Di Kalimantan Selatan, kehadiran SPPG/Dapur MBG merupakan peluang konkret untuk membangun rantai pasok yang memihak petani lokal. Dapur MBG yang didesain dengan baik dapat menjawab beberapa tantangan sekaligus, SPPG yang tersebar di tingkat kecamatan atau klaster sekolah menjadi titik penyerapan (off-taker) tetap dan terprediksi bagi hasil pertanian/perikanan petani di sekitarnya. Ini mengurangi ketergantungan pada pasar induk yang fluktuatif. Setiap SPPG akan menjadi pusat aktivitas ekonomi baru, menciptakan lapangan kerja untuk tenaga pengolah, admin, dan logistik lokal. Uang yang dialokasikan pemerintah beredar di level komunitas terdekat. SPPG yang dikelola dengan standar dapat melakukan sortasi dan pengecekan kualitas bahan baku secara langsung dari petani. Ini juga menjadi kontrol kualitas alami bagi produk petani. Dapur ini menjadi tempat inovasi menu berbasis bahan lokal Kalsel (seperti patin, kangkung darat, ubi ungu Banjar) oleh ahli gizi dan koki setempat, meningkatkan nilai jual dan diversifikasi pangan. Untuk dapat mengambil manfaat dari kehadiran SPPG/Dapur MBG, kelompok tani harus proaktif menjalin kontrak/kemitraan pasokan jangka menengah dengan pengelola SPPG terdekat. Ini memberikan kepastian pasar dan memudahkan perencanaan tanam. Koordinasi dengan manajemen SPPG untuk menyelaraskan jadwal tanam dengan menu sekolah. Misal, jika menu ikan patin minggu ketiga setiap bulan, petani ikan dapat menjadwalkan panen. Jika sayur bayam dibutuhkan rutin, petani bisa melakukan penanaman bergilir (staggered planting). Mengembangkan produk olahan sederhana yang dibutuhkan dapur, seperti tepung pisang, tepung ubi, atau bumbu dasar kunyit dan lengkuas kering dari rempah lokal. Ini menambah nilai ekonomi dan memperpanjang umur simpan. Sementara itu, dari sisi penyelenggaraan SPPG sendiri, maka sudah seharusnya Badan Gizi Nasional (BGN) sebagai pemilik program dan kegiatan untuk mendorong realisasi kebijakan wajib serap lokal (minimal 80%) di setiap SPPG. Data petani lokal harus terpeta dan terintegrasi dengan sistem pengadaan SPPG. Akan lebih baik jika BGN memastikan wajib serap lokal (minimal 80%) harus diterapkan di setiap SPPG. Data petani lokal harus terpeta dan terintegrasi dengan sistem pengadaan SPPG. BGN juga dapat menyusun Buku Menu SPPG Lokal Kalsel yang mempertimbangkan peta produk petani lokal Kalsel dan memuat resep-resep bergizi berbahan lokal, sekaligus spesifikasi kualitas bahan baku yang dibutuhkan dari petani (ukuran, kesegaran, cara packing). Untuk itu perlu kiranya BGN memfasilitasi pertemuan rutin antara Pengelola SPPG, Perwakilan Petani/Nelayan, Ahli Gizi, dan Dinas Terkait. Forum ini untuk sinkronisasi permintaan-penawaran, menyelesaikan kendala, dan berinovasi menu. Kehadiran SPPG/Dapur MBG adalah game changer. Ia bukan lagi sekedar "dapur memasak", melainkan jantung dari ekosistem pangan berdaulat skala lokal. Jika dikelola dengan prinsip kemitraan yang setara, SPPG akan menjadi penggerak utama peningkatan pendapatan petani Kalsel, pencipta lapangan kerja baru, sekaligus penjaga mutu gizi anak sekolah. Program MBG dengan SPPG-nya memiliki potensi untuk menjadi model nasional yang menunjukkan bahwa ketahanan gizi dan ketahanan ekonomi adalah dua sisi dari mata uang yang sama, dan kedua-duanya bisa dimulai dari dapur-dapur yang tersebar di seluruh penjuru Kalimantan Selatan.